Politik Dualisme, Politik Ghost
Oleh Mua'dil faizin
Terbit di Opini Lampungpost 17 Desember 2014
http://issuu.com/lampungpost/docs/rabu__17_desember_2014
http://issuu.com/lampungpost/docs/rabu__17_desember_2014
Suhu
perpolitikan Indonesia mulai memanas kembali, setelah sempat alot dalam
sidang paripurna hingga mencapai ishlah yang menghasilkan kesepakatan
revisi UU MD3, dan beberapa perubahan komposisi struktur Komisi
legislatif. Namun sekarang dinamika politik terjadi lagi, dan lagi-lagi
sarat akan transaksi.
Banyak yang menilai bahwa suhu panas
tersebut semakin meningkat, akibat dipicu oleh keputusan yang dianggap
kontroversial dari Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie atau Ical
dalam Munas Partai Golkar di Bali beberapa waktu lalu, dia memberikan
arahan agar anggota fraksi partainya di DPR menolak Perppu
Pilkada Langsung yang diterbitkan SBY saat masih menjabat Presiden.
Langkah
Ical ini diniali membuat sejumlah parpol meradang. Sebelumnya, SBY
mengatakan, Perppu Pilkada itu telah disetujui bersama 5 parpol lainnya.
Karena itulah, menurut Ketua Partai Demokrat tersebut, langkah politik
Partai Golkar kini menuai kecaman. Partai Golkar dinilai menciderai
kesepakatan yang dibangun Demokrat dengan Koalisi Merah Putih (KMP).
Isu
yang berkembang baru-baru ini adalah Partai Demokrat kecewa dengan
sikap Partai Golkar yang kini berbalik menolak Perppu Pilkada. Agar
perppu yang diterbitkan mantan Presiden SBY itu disahkan, Fraksi
Demokrat di DPR pun diperintahkan untuk mendekati Fraksi PDIP dan
Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Mulai merapatnya suara Partai Demokrat ke
kubu PDIP terkait revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), dinilai sebagai suatu langkah yang baik
bagi hubungan kedua parpol.
Sementara itu, Politikus Partai
Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa, menganggap kekecewaan Presiden keenam,
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap Partai Golkar terkait penolakan
Perpu Pilkada tidak tepat. Desmond menilai tak ada yang salah dengan
Partai Golkar dalam menyikapi Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). "Tidak ada yang salah. SBY pun selama
ini tidak tegas dalam berpolitik," kata Desmond saat dihubungi Tempo,
Jumat, 5 Desember 2014. Menurut Desmond, yang seharusnya menjadi masalah
adalah sikap SBY sendiri. Desmond menjelaskan, SBY-lah yang pertama
kali menggagas pilkada tak langsung dalam RUU Pilkada yang diajukan
pemerintahannya ke DPR.
Namun, saat anggota DPR mendukungnya, SBY
justru berbalik arah menolak pilkada tak langsung. "Selama ini dia (SBY)
pakai politik dua kaki, cari amannya saja. Dia hanya mengejar
popularitas," ujarnya.
Pada akhirnya politik menghalalkan segala
cara, seakan-akan telah menjadi sebuah kelaziman. Pada era demokrasi
liberal ini sebagian para politikus, telah terperangkap pada cara-cara
pragmatis. Nasib demokrasi kita pada gilirannya hanya menjadi sarana
formalisasi kekuasaan rezim yang sama, kendati yang menjadi figur
pemimpinnya sudah berubah. Akan tetapi transformasi kekuasaan pada
akhirnya hanya menjadi urusan segelintir elite politik. Oleh sebab itu,
tampak saling menuding kesalahan antar parpol semakin lazim terjadi.
Fenomena kontroversial Golkar pun tidak cukup hanya pada arahan Ical
menolak Perppu Pilkada, namun juga dualisme yang terjadi dalam batang
tubuh partai tersebut. Hal ini terlihat pada fakta terjadinya dua kali
Munas Golkar, kubu pertama adalah Munas Bali yang menghasilkan Ical
sebagai Ketua Umum Golkar versi KMP dan di kubu kedua adalah Munas Ancol
yang menghasilkan Agung sebagai Ketua Umum Partai Golkar versi KIH.
Perihal
dualisme partai tersebut tampaknya hampir menjadi trend parpol periode
ini, betapa tidak hal ini terlihat dari sejak beberapa bulan yang lalu
PPP mengalami gejolak dualisme yang serupa, bahkan jauh sebelumnya juga
Partai Demokrat mengalami kisruh dualisme sekaligus saling sandra kasus
berdampak mengharuskan SBY yang pada waktu itu menjadi President
merangkap Ketua Badan Penasehat PD untuk turun gunung menjadi ketua
partai kembali, dan sekarang terjadi pada Golkar fenomena dualisme
tersebut.
Ada kecenderungan politik tidak akan dapat melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan (power) dan pengaruh (influence),
kedua hal tersebut adalah perihal utama. Sedangkan, ketaatan atau
ketertiban justru agak terkesampingkan. Oleh sebab itu tak jarang
sebagian saling bermain dua kaki, saling memvonis menghianati, hingga
berujung publik tak mengerti mana fakta lalu mana yang hanya anulir
belaka.
Padahal seyogianya politik yang ideal itu berkaitan dengan tiga hal utama, yaitu kekuasaan (power), kewenangan (authority), dan ketaatan atau ketertiban (order).
Implikasinya dari kelengkapan tiga hal tersebut adalah politik menjadi
suatu cara untuk membangun tujuan bersama tanpa mengesampingkan
perbedaan pendapat, akan tetapi saling melengkapi dan memiliki asas
perjanjian yang harus saling dijaga, saling dipercayai dan saling
diikuti.
Politik untuk dapat saling percaya, memiliki perjanjian
yang harus dijaga serta mendapati titik temu dalam mengkonsolidasikan
tujuan, haruslah disertai dengan adanya komunikasi politik yang baik.
Baik itu komunikasi politik antar politikus ataupun kepada khalayak.
Prof. Dr. Walter Hegeman menganggap komunikasi politik adalah hal yang
sangat penting dalam mengiringi perpolitikan. Setiap pernyataan politik
akan menghasilkan suatu hubungan antara si publisis dengan khalayak.
Ia membagi komunikasi politik menjadi tiga bagian, yaitu; Des Ereignis, Der Empfanger, dan Die Wirkung. Pertama, Des Ereignis:
proses kegiatan seorang publisis, mulai dari peliputan suatu persitiwa,
pengolahan, dan penyebaran. Akan terjadi peristiwa lahir sebagai
kejadian-kejadian yang ditangkap oleh indra, hingga peristiwa batin yang
ditangkap psikologis akibat melihat peristiwa lahir tersebut. Kedua, Der Empfanger:
orang-orang atau khalayak yang menerima informasi yang disebarkan.
Berita didapat dari khalayak atau masyarakat, dan disebarkan lagi pada
dan oleh mereka. Ketiga, Die Wirkung: sejauh mana efek yang
timbul dari persebaran informasi dan opini yang disampaikan pada
masyarakat. Di sini, akan tercipta opini publik akibat informasi yang
disebarkan, ada yang memberi tanggapan penghargaan dan ada yang
kekecewaan.
Dalam proses komunikasi politik bagian Die Wirkung
(daya pengaruh) haruslah menjadi bagian yang sangat diperhatikan.
Apakah publik setelah mendengar berita tersebut merasa senang lalu
memberi penghargaan, ataukah benci lalu kecewa ataukah bimbang dan
bingung untuk percaya kepada pihak yang mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar